Khamenei Bersabda Hajar Israel

Khotbah Jumat, Khamenei Sebut Israel Tak Akan Bertahan Lama: Sebuah Perspektif Politik dan Ideologis

Khamenei Bersabda Hajar Israel – Dalam khotbah Jumat yang disampaikan oleh Pemimpin Tertinggi Iran. Ayatollah Ali Khamenei, sebuah pernyataan yang kontroversial mengenai Israel kembali mencuat ke permukaan. Khamenei menegaskan pandangannya bahwa Israel, negara yang telah lama menjadi pusat konflik Timur Tengah, tidak akan bertahan lama. Pernyataan ini bukanlah hal baru dari Khamenei, yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai salah satu kritikus paling vokal terhadap keberadaan Israel. Namun, momen ini menjadi perhatian karena situasi geopolitik yang semakin kompleks di kawasan tersebut.

Latar Belakang Konflik Iran-Israel

Khamenei Bersabda Hajar Israel Hubungan antara Iran dan Israel telah lama ditandai oleh ketegangan yang mendalam. Terutama setelah Revolusi Islam 1979. Pemerintahan baru di Iran, yang dipimpin oleh Khamenei dan pendahulunya, Ayatollah Khomeini, dengan tegas menolak keberadaan Israel sebagai negara sah. Ideologi politik dan religius yang dianut oleh para pemimpin Iran menekankan solidaritas dengan Palestina. Serta perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai “rezim Zionis.”

Sejak itu, retorika permusuhan terhadap Israel sering kali digunakan sebagai sarana untuk menyatukan berbagai faksi politik dan militer di Iran. Pernyataan Khamenei bahwa “Israel tidak akan bertahan lama”. Mencerminkan narasi yang berakar pada keinginan Iran untuk melihat berakhirnya pengaruh Israel di kawasan tersebut. Dalam beberapa dekade terakhir. Iran juga telah terlibat dalam berbagai bentuk perlawanan, baik melalui dukungan langsung kepada kelompok-kelompok militan Palestina seperti Hamas. Maupun melalui pasukan proxy di Suriah dan Lebanon seperti Hizbullah.

Pemahaman Ideologis

Khamenei, dalam khotbahnya, menegaskan bahwa Israel berada dalam posisi yang semakin rentan, baik dari segi politik maupun militer. Menurutnya, perpecahan internal di Israel, tekanan dari dunia internasional, dan ketegangan dengan Palestina akan mempercepat jatuhnya negara tersebut. “Rezim Zionis ini dibangun di atas dasar yang rapuh, dan dengan izin Allah, mereka tidak akan bertahan lama,” ucap Khamenei dengan penuh keyakinan.

Pernyataan ini bukan sekadar pandangan politik, melainkan juga sarat dengan muatan religius. Khamenei dan banyak pemimpin Iran lainnya meyakini bahwa keberadaan Israel bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dan mereka memandang perjuangan Palestina sebagai kewajiban religius. Bagi mereka, membela hak-hak Palestina sama dengan membela keadilan dalam konteks global. Selain itu, retorika seperti ini sering digunakan untuk memperkuat legitimasi kepemimpinan Khamenei di dalam negeri, terutama di tengah ketidakpuasan rakyat terkait kondisi ekonomi dan politik domestik.

Dampak Regional dan Internasional

Pernyataan Khamenei tentu saja menuai reaksi keras, terutama dari Israel dan sekutu-sekutunya di Barat. Israel, yang telah lama merasa terancam oleh Iran, menilai retorika semacam ini sebagai bukti niat Iran untuk menghancurkan negara mereka. Berbagai pemimpin Israel, termasuk Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, telah berulang kali menyatakan bahwa Iran adalah ancaman eksistensial bagi Israel. Mereka menekankan bahwa program nuklir Iran, yang terus berkembang meskipun ada sanksi internasional, menjadi salah satu ancaman terbesar bagi keberadaan Israel.

Di sisi lain, negara-negara Arab di kawasan Teluk Persia, meskipun secara historis juga memiliki hubungan yang tegang dengan Israel, telah mulai menjalin hubungan yang lebih pragmatis dengan negara tersebut melalui Kesepakatan Abraham. Perjanjian ini menggarisbawahi pergeseran dinamika politik di Timur Tengah, di mana beberapa negara Arab memilih untuk menormalisasi hubungan dengan Israel sebagai bentuk penyeimbangan terhadap pengaruh Iran yang semakin kuat.

Kesimpulan

Pernyataan Khamenei bahwa Israel “tak akan bertahan lama” mencerminkan pandangan politik dan ideologis Iran yang telah mengakar sejak lama. Retorika semacam ini mempertegas posisinya sebagai pemimpin yang memandang Israel sebagai musuh utama, baik dari sudut pandang politik maupun agama. Namun, di tengah dinamika politik yang terus berubah, dengan normalisasi hubungan antara beberapa negara Arab dan Israel serta ketegangan yang berkelanjutan di kawasan tersebut, pernyataan ini juga menunjukkan bahwa konflik Israel-Iran masih jauh dari selesai.

Pernyataan ini mungkin akan terus memperuncing ketegangan di kawasan, namun dampaknya terhadap realitas geopolitik yang kompleks di Timur Tengah masih harus ditunggu. Yang jelas, retorika seperti ini tetap menjadi elemen penting dalam narasi politik Timur Tengah yang sangat dinamis dan sarat dengan ketidakpastian.